Hari Ini

Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak

Update Jumat, 25 November 2011 at 10.21. Dalam topik Cerpen Cinta

Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak ~ Cinta yang terkuak dalam Cerpen yang berjudul "Cinta Dalam Sepiring Rujak". langsung saja di baca Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak di bawah ini :

Cerpen Cinta - Cinta Dalam Sepiring Rujak
Aku bergegas berjalan menuju mesjid kampus, jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 16.20 wita, aku masih punya waktu untuk menunaikan sholat ashar dulu sebelum rapat yang akan dimulai pukul 16.30 wita. Aku segera menuju tempat wudhu pria di belakang mesjid, kubasuhkan air yang terasa dingin itu ke wajahku, ahh…sejuknya ya Allah, setelah sepanjang hari tadi gerah menyerangku tanpa henti karena penelitian lapangan, setelah itu kulanjutkan dengan membasuh anggota tubuh yang lain hingga wudhuku ini sempurna. Tiba di dalam mesjid, aku lebih merasakan kesejukan yang luar biasa, bukan karena kipas angin yang berputar diatasku, tapi karena memang mesjid adalah rumah Allah, adakah rumah lain yang kesejukannya melebihi mesjid?

Didalam mesjid ini, ternyata aku tidak sendiri, ada pula seorang bapak yang sudah terlihat tua juga sedang bersiap sholat, tetapi begitu melihatku, dia menawarkan untuk sholat berjamaah. Tentu saja aku tak menolaknya, aku sudah tertinggal sholat berjamaah tepat waktu, jadi mumpung ada teman, tentu saja ini sesuatu yang luar biasa nikmat dari Allah.

“ ayo mas, kamu saja yang jadi imamnya ya “ kata bapak itu menawariku. Tentu saja aku merasa segan, beliau lebih tua dariku, masak aku yang jadi imamnya, bukan tidak boleh tapi supaya lebih santun, bukankah sudah diajarkan agar yang muda menghormati yang tua?

“ waduh pak, bapak saja yang jadi imam, kan lebih tua bapak daripada saya? “ jawabku dengan santun

“ loh, memang kalau masih muda ga’ boleh jadi imam tho’ buat berjamaah? Bacaan sholat saya ini masih belum lancar mas, takutnya nanti sholatnya jadi ga’ sah, jadi kamu saja ya” desak bapak itu lagi. Yah mau tidak mau aku mengalah saja, daripada terlalu lama berdebat hanya buang-buang waktu saja.

Selesai sholat, kulihat bapak itu bersiap meninggalkan mesjid, tanpa zikir ataupun doa terlebih dulu, ketika bapak itu mau permisi padaku, aku segera mengulurkan tangan untuk bersalaman padanya, meski bingung tapi diterimanya juga jabatan tanganku. Sembari menunggu teman-teman yang lain datang, aku meneruskan zikir dan doa, setelah itu kuraih mushaf al qur’an dari dalam saku tas ranselku, dengan takzim kucium mushaf itu dan membacanya perlahan. Tak lama, muncul satu persatu teman-teman rohis, segera kami menyelenggarakan rapat sore itu dengan agenda membahas persiapan training kepemimpinan kader dakwah.

Menjelang maghrib, rapat baru selesai, para akhwat terlihat bergegas meninggalkan mesjid, sedangkan para ikhwan termasuk aku masih bertahan, menunggu adzan berkumandang jadi sekalian saja sholat disini. Kulihat di sudut halaman mesjid, bapak tua yang tadi masih bertahan dengan gerobaknya, aku baru sadar belum berkenalan dengannya. Aku memutuskan untuk menghampiri bapak itu, ohhh..aku baru tahu bapak itu ternyata seorang penjual rujak keliling, sambil mengipaskan topinya yang sudah terlihat lusuh, bapak itu duduk dibawah pohon yang cukup rindang.

“assalamualaikum pak” sapaku lembut

“ eh waalaikum salam, loh kamu yang tadi kan? Ada apa? “ Tanya bapak itu agak kaget dengan kehadiranku.

“ ga ada apa-apa ko’ pak, mau silaturahmi aja, tadi kan ga’ sempat kenalan. Nama saya Bayu pak” jawabku sambil memperkenalkan diri. Kembali tangan kami berjabat erat, bapak itu memperkenalkan diri dengan nama Pak Surip.

“ sudah lama pak jualan rujak keliling, saya ko’ baru lihat bapak ya? “ tanyaku lagi sambil memperhatikan gerobak rujak Pak Surip. Gerobak yang sudah tua, sudah rapuh disana-sini, tapi kelihatannya masih kuat untuk dibawa berkeliling.

“ yah lumayan lah mas, saya baru beberapa minggu ini saja mangkal disini. Lha mas sendiri dari tadi ngapain di mesjid? Kalo pengajian ko’ ga keliatan baca qur’an ya? “ Tanya Pak surip dengan mimik yang polos,

“ oh..saya sama teman-teman itu lagi rapat organisasi pak, kita memang biasa rapatnya di mesjid, karena mesjid lebih bisa ngasih ide brilian pak” jawabku sambil tersenyum

“ hah, berlian?” sahut pak Surip lagi dengan nada terkejut. Aku langsung tertawa kecil, lalu kujelaskan yang kumaksud itu brilian bukan berlian, artinya cemerlang. Dan seketika kamipun tertawa lepas. Hahh ya Allah, baru tadi sewaktu sholat ashar bertemu pak Surip, langsung bisa akrab seperti ini, untungnya aku memang tipe orang yang supel dalam pergaulan, jadi bisa akrab dengan siapa saja kecuali…akhwat atau wanita dan sejenisnya yang bukan muhrim!

Adzan maghrib pun berkumandang dengan indah, aku dan Pak Surip segera menghentikan obrolan, dan aku kembali mengajaknya untuk sholat berjamaah bersama. Tak lupa aku perkenalkan juga Pak Surip dengan ikhwan yang lain. Selepas ,maghrib, Pak Surip pamit untuk segera pulang, tadiny aku cemas jika menjelang mala mini Pak Surip harus pulang sendirian sambil mendorong gerobaknya, apalagi tadi beliau bilang rumahnya di daerah perkampungan kecil di Martapura yang pastinya jauh dari kawasan perkotaan ini. Saat kutawarkan mengantarnya pulang, dengan halus Pak Surip menolaknya dengan mengatakan bahwa ia sudah biasa pulang agak malam seperti ini. aku hanya bisa berdoa untuknya dalam hati semoga Allah memberinya keselamatan hingga sampai dirumah dengan selamat.

Setelah pak Surip berlalu, aku meneruskan zikir di mesjid, kali ini membaca zikir harian sore hari, ditambah dengan tilawah bersama dengan ikhwan yang lain, kami membentuk lingkaran kecil dan saling menjaga bacaan, jika ada yang salah atau keliru, segera kami luruskan, inilah aktivitas yang sangat kusukai jika sudah berkumpul dengan mereka. panggilan isya kembali menyeru, setelah sholat kuputuskan untuk segera pulang ke kost, malam ini harus menyusun laporan penelitian tadi siang, karena besok pagi harus segera dikumpulkan, tapi sebelumnya singgah dulu di warteg beli makan malam.

Beberapa hari ini akhirnya aku sering ke mesjid kampus sekedar untuk silaturahmi dengan Pak Surip, bukan Cuma silaturahmi, tapi juga jadi pelanggan setia rujak Pak Surip, bahkan kadang porsi rujak untukku selalu dilebihkan beliau. Dalam beberapa hari ini pula, rohis sering mengadakan rapat, tapi kali ini terasa beda, setiap kali rapat, pasti rujak Pak Surip ikut menemani, dan gratis pula! Pak Surip tidak pernah mau menerima bayaran dari kami. Aku dan teman-teman salut pada Pak Surip, kami tahu keuntungan dari berjualan rujak keliling itu tidak terlalu besar, tapi beliau begitu ikhlas memberi pada kami. Diantara yang lain, tentu aku yang paling dekat dengan Pak Surip, pernah suatu hari aku bertanya tentang sikap baik yang ditunjukkan Pak Surip pada kami.

“ wah pak, teman-teman sekarang semakin semangat loh datang rapat, habisnya ada rujak gratis sih” candaku pada Pak Surip yang hanya tersenyum simpul menanggapi kata-kataku

“ Alhamdulillah kalau begitu mas, saya ikut senang” balas Pak Surip sambil tersenyum

“ tapi jadi ga enak juga nih pak, masa gratisan melulu, ntar yang ada, bapak malah rugi, kan kasian anak istri bapak kalo penghasilan bapak jadi berkurang” kataku lagi sambil menikmati rujak buatan pak Surip, tapi kalo yang ini pasti harus dibayar

Pak surip tiba-tiba terdiam dan menghentikan aktivitas membersihkan sisa-sisa potongan buahnya. Aku yang baru menyadari diamnya pak Surip melihat gelagat yang aneh ketika menyinggung tentang keluarganya.

“ eh maaf pak, saya salah ngomong ya” ucapku dengan rasa bersalah

“ eh oh ga’ ko’ mas, ga’ apa-apa.. “ jawab pak Surip dengan ekpresi gugup. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi, mengumpulkan sisa potongan buah lalu membuangnya ke tempat sampah. Aku masih merasa tidak enak dengan pak Surip, sepertinya beliau sedang menyimpan suatu masalah yang berat tentang keluarganya.

“ hmmm…boleh saya tahu tentang keluarga bapak” tanyaku dengan hati-hati. Lama pak Surip mau menjawab pertanyaanku, namun akhirnya setelah menghela nafas sejenak, beliau mau juga bercerita tentang keluarganya.

“ saya punya istri dan 4 orang anak mas, yang paling tua laki-laki, namanya Yusuf, sisanya perempuan. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, Yusuf adalah kebanggaan saya, saya bekerja keras untuk bisa menyekolahkannya sampai jadi sarjana, saya rela kerja apa saja asalkan halal, demi anak-anak saya terutama Yusuf “ cerita Pak Surip. Aku terkesima dengan cerita pak Surip, sungguh seorang ayah yang luar biasa.

“ sekarang Yusuf itu sudah sekolah apa pak?” tanyaku lagi. Kembali Pak Surip terdiam, seperti enggan menceritakan tentang Yusuf anaknya, aku tak berani mendesaknya, jadi kutunggu saja pak Surip menlajutkan ceritanya.

“ seharusnya dia sudah mau lulus SMA sekarang, tapi….” Pak Surip tertahan dengan ceritanya. Aku pun ikut bingung, apa maksudnya dengan “seharusnya sudah lulus SMA” ?

“ tapi kenapa pak?” kuberanikan bertanya pada pak Surip

“ seharusnya dia sudah lulus SMA andai dia tidak terjerumus seperti itu, kebanggaan saya hilang mas karena dia bukan yusuf anak saya yang dulu” lanjut pak Surip lagi dengan suara terbata. Lalu mengalirlah cerita pak Surip tentang Yusuf anaknya, seorang anak yang dulunya cerdas, sejak SD sampai SMP selalu menjadi bintang kelas, hingga akhirnya masuk SMA favorit dengan beasiswa dari pemerintah. Tapi seketika semua berubah saat Yusuf salah dalam memilih teman di SMA-nya, entah karena pengaruh pergaulan yang salah itu, Yusuf berubah drastis, prestasi sekolahnya menurun, akhirnya dia tidak naik kelas sampai 2 tahun. Perilaku Yusuf pun ikut berubah, dia yang tadinya sopan dan santun pada siapapun, sekarang bahkan berani membentak orangtuanya, mencuri uang dirumah, dan uangnya dipakai untuk mabuk-mabukan. Karena itulah, pihak sekolahnya tidak mampu lagi memberikan toleransi, beasiswanya dicabut dan Yusuf pun dikeluarkan dari sekolah itu. Namun, bukannya berubah, kelakuan Yusuf makin menjadi-jadi, sering Pak Surip dan anaknya itu bertengkar hebat karena masalah itu.

“ saya menyesal mas dulu tidak mendidik anak saya itu dengan pendidikan agama, saya lebih suka melihatnya belajar berlama-lama daripada ikut teman-temannya mengaji di surau” ucap Pak Surip dengan nada menyesal. Aku masih diam, bingung mau menanggapinya seperti apa, inilah budaya masyarakat yang harus diluruskan. Selama ini orangtua hanya peduli dengan prestasi studi anaknya, tapi acuh terhadap pembinaan akhlak agama, akibatnya meski cerdas, tapi moralitasnya tidak ada sama sekali.

“ itulah kenapa saya sangat terkesan dengan mas dan teman-teman mas yang lain, yang wanita terlihat anggun dengan jilbabnya, yang laki-laki begitu teduh pandangannya, saya merasa nyaman berdekatan dengan kalian, terasa damai sekali. Saya membayangkan anak saya Yusuf bisa seperti kalian, tidak hanya cerdas tapi juga sholeh” lanjut pak Surip lagi. Sekilas aku memandangi pak Surip, air matanya terlihat mulai mengalir, namun dengan cepat diusapnya air mata itu.

“ saya sudah menganggap mas dan yang lain seperti anak saya, yah walaupun saya tahu tidak pantas, saya hanya seorang penjual rujak, orang miskin yang bodoh. Saya tidak mengharapkan mas dan yang lain menerima kehadiran saya sebagai orangtua, saya tahu diri, itulah kenapa saya senang memberi rujak tiap kali kalian berkumpul, karena hanya itu yang bisa saya beri” ucap pak Surip lirih. Aku membiarkan pak Surip meluapkan emosinya, setelah kulihat agak tenang, baru aku menanggapi ceritanya.

“ pak, sungguh suatu kebanggaan bagi saya dan teman-teman mendapatkan perhatian dari bapak, kami bahkan salut dan kagum pada bapak, terimakasih atas semua yang telah bapak beri, meski itu hanya sepiring rujak “ ucapku sambil tersenyum berusaha untuk menyenangkan hatinya.

“ penyesalan itu memang selalu datang belakangan pak, tapi tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semuanya. Bapak masih bisa mendidik anak-anak bapak lagi, termasuk Yusuf, insya Allah, semoga dengan kesabaran bapak, hatinya akan terbuka dan dia akan kembali menjadi anak kebanggaan bapak, saya dan yang lain pasti akan selalu mendoakan bapak sekeluarga” kataku lagi

“ mas….mas mau mengajari saya sholat dan mengaji yang benar? Agar saya bisa mengajari anak-anak saya dirumah” Tanya pak Surip penuh harap. Aku kembali tersenyum sambil mengangguk pasti, ya Allah…pak Surip adalah ladang amal untuk kami, terimakasih ya Allah Kau pertemukan aku dengan pak Surip.

Dan akhirnya tiap sore kalau tidak ada agenda, aku mengajari pak Surip cara sholat beserta bacaannya secara benar, begitu juga cara mengaji. Tapi jika aku sedang sibuk, aku meminta yang lain menggantikanku. Sekarang pak Surip sudah lancar mengaji, dan dia juga bercerita,selain dirumah, pak Surip juga menyuruh anak-anaknya selain Yusuf untuk ikut mengaji di Surau. Yusuf sudah lama tidak pulang kerumah, pak Surip juga tidak tahu dimana dia sekarang. Jadilah pak Surip hanya berdoa agar anaknya itu tetap dijaga oleh Allah dimanapun ia berada.

Sudah sebulan lebih pak Surip tidak kelihatan lagi di pojok mesjid, aku jadi kangen, apalagi tiap kali rapat rohis, tidak ada lagi sepiring rujak segar dari pak Surip. Aku mencoba bertanya pada penjual makanan yang lain disekitar mesjid, tapi tidak ada yang tahu, apa pak Surip sakit ya? Tanyaku dalam hati. Aku menyesal tidak meminta alamat lengkap pak Surip,yang kutahu hanya nama desanya, desa Karang Intan, kemarin-kemarin sempat berencana silaturahmi kerumahnya, tapi kesibukan kuliah dan rohis membuat aku jadi lupa pada rencana itu. akhirnya aku memutuskan untuk silaturahmi kerumah pak Surip, berbekal alamat seadanya, aku dan beberapa ikhwan menyusuri jalan menuju desa Karang Intan. Setelah cukup lama berpetualang menuju rumah Pak Surip, akhirnya kami sampai di desa yang kami tuju, kami pun mencoba bertanya pada warga sekitar siapa tahu mereka kenal dengan pak Surip.

“ oh Surip tukang rujak keliling itu? kalian lurus saja, nanti ada pos ronda, belok kanan, kalo ada rumah petak ga’ pake warna, nah itu rumahnya” ucap seorang bapak menjelaskan peta rumah pak Surip

“ kalian ini mahasiswa ya? Mau ngapain ke rumah Surip? Kalau mau melayat, udah telat, si Surip udah dikubur” tambah seorang bapak satunya. Mendengar pak Surip meninggal, jelas aku dan yang lain kaget luar biasa, seakan tak percaya, tapi aku mencoba menguasai diri dan bertanya lebih lanjut.

“ Pak Surip sudah meninggal pak? Kami tidak tahu tentang itu, kami kesini justru mau bertemu beliau karena sudah lama tidak kelihatan di kampus kami” jelasku pada bapak-bapak itu

“ lha iya, si Surip itu meninggal, dibunuh sama anaknya sendiri, emang dasar edan si yusuf itu, anak durhaka” sahut bapak itu lagi dengan wajah geram. Aku dan yang lain segera memutuskan melanjutkan perjalanan, sesampainya di rumah Pak Surip, hanya terlihat anak-anak perempuan yang sedang membersihkan halaman rumah. Setelah mengucapkan salam, kami disambut oleh seorang wanita paruh baya, mungkin ini istrinya pak Surip. Kami lantas menanyakan kabar pak Surip yang sudah lama tidak mangkal di mesjid kampus, namun pertanyaan kami dijawab dengan tangis istrinya yang tidak tertahankan.

“ Bapak sudah meninggal mas, dibunuh sama Yusuf, saya benar-benar menyesal kenapa sampai bisa melahirkan anak seperti Yusuf itu” ucap bu Surip dengan nada geram. Kami hanya terdiam, syok mendengar berita tragis ini. dengan tangis yang semakin pecah, bu Surip menceritakan kronologis kejadian itu, pagi itu, saat keluarga pak Surip bangun untuk menunaikan sholat subuh, Yusuf tiba-tiba datang menggedor pintu rumah sambil berteriak-teriak. Pak Surip lantas membukakan pintu, melihat Yusuf yang sempoyongan, pak Surip berusaha menenangkan anaknya itu, sambil membacakan istighfar. Tanpa peduli dengan hal itu, Yusuf memaksa meminta uang, tapi tidak dipedulikan oleh pak Surip, bahkan beliau masih berusaha menasehati Yusuf. Yusuf yang sudah terpengaruh minuman keras akhirnya kalap, dengan cepar diraihnya sebilah pisau dari balik punggungnya dan entah sadar atau tidak, pisau itu dengan cepat pula ditusukkan ke ayahnya sendiri. Bu Surip dan anak-anaknya yang lain hanya bisa berteriak histeris sampai akhirnya warga berdatangan, setelah menusuk ayahnya, Yusuf baru menyadari apa yang telah ia lakukan, namun apa daya, nyawa pak Surip sudah tak tertolong lagi. Warga yang berdatangan segera meringkusnya, bahkan ada yang sampai memukulinya hingga babak belur. Di akhir ceritanya, bu Surip masih saja meluapkan amarahnya dengan sumpah serapah untuk Yusuf yang sekarang mendekam di tahanan polisi. Aku hanya bisa mengelus dada dan beristighfar,” ya Allah, kenapa orang sebaik pak Surip harus mengalami hal ini, tapi sungguh aku percaya ya Rabb, Engkau selalu punya rahasia dibalik sebuah kejadian” ucapku dalam hati.

****

Tanah itu sudah kering, sebulan yang lalu, wangi bunga seroja masih tercium jelas namun kini tergantikan oleh rerumputan yang tumbuh liar diatasnya, diatasnya itu pula sebuah batu nisan berdiri tegak, memperlihatkan barisan kalimat sederhana kepada orang-orang yang datang melihatnya.

SURIP BIN KASIM

LAHIR : 22 OKTOBER 1955

WAFAT : 23 MEI 2009

aku kembali mengunjungi makam pak Surip, kali ini sendiri tanpa ditemani oleh yang lain. Sembari membersihkan rerumputan itu, tak lupa kubacakan sebait doa agar kuburnya dilapangkan oleh Allah.ya Allah, berikanlah tempat disisiMu yang terbaik untuk Pak Surip…. Pak Surip, sosok manusia yang begitu memberi kesan terindah dalam hidupku, saat ia ingin memperbaiki segalanya, hidupnya harus berakhir dengan tragis..ditangan anaknya sendiri, anak laki-laki yang sangat ia banggakan, dulu….!

Terimakasih pak, atas pelajaran hidup yang sudah kau berikan, terimakasih atas sebentuk cinta dan kasih sayang yang kau berikan, meski hanya dalam sepiring rujak, kontribusi dakwah yang sangat sederhana.

Aku dan teman-teman di Rohis kampus sepakat untuk menyantuni keluarga pak Surip dengan menjadi orangtua asuh bagi 3 anaknya, Siti, Norma dan Sari. Ya…hanya ini yang bisa kami lakukan untuk almarhum pak Surip, Yusuf, anak laki-laki pak Surip itu sudah divonis hukuman mati, tidak ada satupun hal yang meringankannya, bahkan ibunya sendiri tidak mau lagi mengakuinya sebagai anak. Yah…ini hanya cerita kecil dari hidup seorang manusia seperti pak Surip, aku yakin diluar sana, masih ada lagi episode-episode kehidupan yang lain, ya Allah bukakanlah mata dan hatiku agar selalu bisa melihat kejutanMu yang lain….Amin!

Comments
0 Comments