Hari Ini

Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah

Update Jumat, 25 November 2011 at 09.14. Dalam topik Cerpen Islami

Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah ~ Kumpulan Cerpen Berbagi Cerpen Islami yang berjudul Jangan Panggil Saya Ustadzah. Ini sebuah Cerpen dengan keindahan penulisan yang semoga bisa terselip pesan kehidupan untuk Sobat semua. Silahkan di Baca untuk Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Ustadzah berikut ini:


Cerpen Islami - Jangan Panggil Saya Uztadzah
"eh ada bu ustadzah, assalamualaikum" sapa seorang mahasiswa saat aku berjalan melewatinya di koridor kampus.

Aku hanya diam sambil mengeluh dalam hati, sudah beberapa hari ini sapaan itu cukup mengganguku

"wah,bu ustadzah sombong banget, katanya jawab salam itu hukumnya wajib" kali ini terdengar celutukan dari mahasiswa satunya

"waalaikumsalamwarahmatullah" kataku tanpa menoleh dan mempercepat langkah menuju ruangkuliah.



Sesampainyadi ruang kuliah, aku masih saja memasang tampang cemberut, kuhampiri Sita,temanku yang sudah lebih dulu datang.

"Assalamualaikum ustadzah Farah, aduh kok mukanya cemberut sih?" tanya Sita sambil menggodaku.Segera ku pelototkan mataku ke arahnya, dan Sita hanya membalas dengan senyum nyengir

"Bisa ga sih panggil aku itu biasa aja? Tanpa embel-embel ustadzah?" tanyaku setengah kesal pada Sita

"Memangnya kenapa sih Fa? Ada masalah? Kan semua juga tahu kalo kamu itu anak rohis kampus yang alimnya setengah tiang, eh salah setengah mati" jawab Sita sekenanya.

Aku mendengus kesal pada Sita, lagi-lagi dibalasnya dengan cengiran.

"Sit,mungkin bagi kamu sama yang lain panggilan itu biasa, tapi buat aku itu panggilan yang berat. Ah, mungkin kamu juga belum bisa ngerti kalopun aku jelaskan panjang kali lebar" kataku akhirnya diam dan mengalihkan pandangan pada diktat kuliah.



"waduh non, ya sudah, kan kamu tahu sendiri kalo IQ aku itu masih dalam masa pertumbuhan, jadi ga bakal ngerti yang begituan. Udah, try enjoy it, oke?" kata Sita lagi dan tepat Pak Bambang masuk untuk mengajar Kalkulus hari ini.

Entah sejak kapan panggilan ustadzah itu mulai booming di kalangan mahasiswa disini,padahal aku juga masuk rohis sudah sejak dua tahun lalu, kenapa baru sekarang dipanggil begitu? Yang jelas, panggilan itu mulai mengusik hatiku sejak aku mengisi kajian pesantren ramadhan di sebuah sekolah SMA. Memang sih disana anak-anak itu memanggilku ustadzah, dan tidak menjadi masalah bagiku, karena yang lain juga dipanggil begitu. Tapi beberapa hari lalu, seorang mantan peserta pesantren ramadhan yang cukup akrab denganku menemuiku dikampus, karena ingin pinjam buku-buku islami. Ternyata walau pesantren ramadhan itu sudah berakhir, dia masih saja memanggilku dengan sebutan ustadzah, dan entah apakah penghuni kampus mendengar obrolan kami waktu itu sampai akhirnya mereka ikut-ikutan memanggilku ustadzah.

Sungguh,panggilan itu terasa menjadi beban buatku, bukan tidak suka sebenarnya, tapi yaitu tadi. Sekarang tiap aku melewati segerombolan mahasiswa iseng, mereka akanselalu menyapaku dengan panggilan ustadzah, bukan lagi nama asliku.

"Bukannya panggilan itu bagus buat mendukung dakwah kamu? Daripada mereka manggil kamu teroris" kata Dina, teman sesama rohis menyelutuk.

"Ga semudah itu Din, andai saja mereka menyapa dengan santun mungkin aku tidak akan sekesal ini, aku tahu mereka itu sedikit meledek aku" kataku lagi

"Jangan su'udzon begitu ah, justru itu malah menjadi kunci untuk membuka komunikasi yang baik antara kamu sama mereka, mungkin mereka cuma cari perhatian aja supaya kamu ngasih pencerahan juga sama mereka" jawab Dina sambil membereskan buku dan majalah koleksi mushola kampus.

Bahkan Dina yang bijaksana itu pun tidak bisa memahami kegundahanku dengan panngilan itu. Heran, kenapa juga aku mempermasalahkan ini ya? ahh Rabbi, hanya Engkauyang tahu segala yang berkecamuk dalam dadaku..

Akhirnya setelah beberapa hari aku tidak bisa tenang, dan membuat konsentrasiku pecah,aku memutuskan untuk menemui mba Sarah, guru ngajiku selama ini. Mungkin dengan beliau aku akan bisa lebih menumpahkan perasaanku. Dan besok hari Sabtu aku janjian dengan beliau, kebetulan juga hari itu kuliah dikosongkan. Sampai dirumah mba Sarah, aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Agak lama pintu itu akhirnya dibuka oleh mba Sarah.

"Waalaikumsalam,oh dek Farah, ayo dek, masuk aja, mba udah tungguin dari tadi" sambut mba Sarah dengan ramah dan mengajakku ngobrol diruang tamu. Sejenak aku terpukau dengan suasana rumah mba Sarah, rumah yang tidak terlalu besar, tidak juga kecil tapi membuat nyaman dan rileks bagi penghuninya. Untung saja suami beliau sedang mengajak putra mereka jalan-jalan, jadi bisa lebih leluasa curhat dengan mbaSarah.

"Jadi apa yang mau kamu ceritakan sama mba?" tanya mba Sarah sambil menyuguhkan secangkir teh dan cemilan padaku.

Maka mengalirlah ceritaku pada mba Sarah, mulai dari aku mengisi kajian ramadhan di SMA, sampai akhirnya tentang panggilan ustadzah itu. Mba Sarah terlihatmenyimak dengan ekpresi wajah yang tetap tenang.

"Jadi kamu merasa terbebani dengan panggilan itu, dan alasanya?" tanya mba Sarah begitu aku selesai bercerita awal mulanya.

"Sayacuma merasa panggilan itu sangat membutuhkan tanggungjawab yang besar mba,seolah mereka akan sangat menuntut saya untuk terus menjadi manusia yang baik layaknya malaikat tanpa dosa. Dan saya belum siap untuk itu, sekarang saja saya masih berproses menjadi manusia yang baik, tapi bukan tanpa cela. Saya memangsangat menjaga agar tidak melakukan dosa maksiat, tapi sebesar apapun kebaikan dan ibadah yang saya lakukan, peluang untuk melakukan dosa itu masih terbuka lebar kan mba? Bukankah syaitan tidak akan berhenti menggoda sekalipun manusiaitu sudah mencapai keshalihan yang hampir sempurna?" kali ini nada suaraku sudah mulai merendah dan terdengar sesenggukan menahan tangis.

"Saya hanya takut, jika suatu hari nanti tiba-tiba saya melakukan sebuah kekhilafan,maka seketika itu pula saya akan jatuh dan semua orang akan mencela saya habis-habisan. Dan dampaknya, mereka akan menganggap bahwa orang-orang yang akhlaknya baik pun tak ada bedanya dengan mereka, sama saja munafik dan pembuat dosa. Ujung-ujungnya mereka tidak akan tertarik lagi menerima dakwah yang diberikan oleh para da'i, aktivis dakwah, bahkan ulama sekalipun" kataku lagi.

"Mba bisa memahami apa yang kamu rasakan itu Farah, memang berat ketika secara tidaklangsung keberadaan kita dalam lingkungan dakwah di tuntut untuk sempurna kebaikannya. Karena secara tidak sadar pula mereka menjadikan kita sebagaiteladan dan cerminan. Terkadang mereka seolah terkurung pada satu pemahamanbahwa seorang aktivis dakwah adalah kumpulan malaikat yang tidak boleh ada cela" Mba Sarah menghela nafas sejenak untuk mengambil jeda kalimatnya.

"Lalu saya harus bagaiman mba? Apa harus saya umumkan pada teman-teman agar tidaklagi memanggil saya seperti itu" kataku sembari mencoba mencerna kata-kata mba Sarah barusan.

"Kamu tidak harus melakukan itu Farah, cobalah untuk tetap tenang dan jalani aktivitas seperti biasa. Hadapilah mereka dan anggaplah mereka sebagai objek dakwah kamu. Jikapun suatu hari nanti ternyata kamu melakukan sebuah kesalahan walau kecil sekalipun, kamu ga usah takut dengan dampak yang kamu uraikan tadi.Insya Allah, dakwah ini akan tetap menggema sekalipun tidak ada yang mau mendengarkan. Dan mba yakin, akan masih banyak orang yang sangat butuh dengan dakwah dan para penyerunya" jawab mba Sarah sambil tersenyum.

"Tetaplah fokus pada dakwah kamu, juga dakwah untuk dirimu sendiri. Anggap saja panggilan yang mereka berikan untukmu sebagai motivasi untuk terus memperbaiki kualitas keimanan dan keta'aan kamu sama Allah ya" lanjut mba Sarah lagi sambil menepuk-nepuk pundakku.

Aku menggangguk pelan dan menghapus airmata yang rupanya sedari tadi mengalir darimataku. Iya, apa yang dikatakan mba Sarah itu benar, kenapa aku harus sibuk mempermasalahkan ini sementara masih banyak hal dan amanah yang harus kuselesaikan. Jalani saja ini semua tanpa harus sibuk memikirkan hal-hal seperti itu, ahh...aku jadi malu pada diriku sendiri. Syukron ya Allah, kali ini aku kembali mendapat tarbiyah dariMu..

Comments
0 Comments