Hari Ini

Cerpen Kehidupan

Update Jumat, 25 November 2011 at 09.41. Dalam topik Cerpen Kehidupan

Cerpen Kehidupan " Hadiah Kain Kafan Untuk Bapak " ~ sebuah Cerpen Kehidupan yang bisa mengajarkan kita tentang Hidup dalam keserakahan akan berakhir dengan maut yang tiba disaat kita belum sempat untuk ber taubat. baiklah langsung saja disimak untuk Cerpen Kehidupan " Hadiah Kain Kafan Untuk Bapak " :

Sebuah Kado Istimewa


Cerpen Kehidupan


“ Bapak tenang saja, ada uang urusan apa saja pasti lancar” kata seorang lelaki separuh baya yang memakai kemeja batik itu sambil tersenyum. Ditangannya memegang sebuah amplop yang berisi tumpukan rupiah dengan satuan lembaran 50-ribuan. Seorang bapak yang duduk didepannya juga tersenyum puas sembari mengisap rokok kretek, sesekali dia memilintir kumisnya yang tebal, konon kumis baginya adalah simbol kewibawaan.

Aku yang tak sengaja mendengarkan pembicaraan mereka hanya bisa mengelus dada. Ada rasa gemuruh yang berkecamuk, ingin melakukan sesuatu tapi seperti ada tembok yang menghalangi. Ya…lelaki berkumis itu adalah Pak Ridwan, ayahku sendiri, yang sedang mencalonkan diri sebagai Bupati didaerah ini. Satu hal yang masih tak kumengerti, apa lagi yang sedang dikejar Bapak? Apa harta sebanyak ini, serta penghormatan yang sudah amat luar biasa dari orang sekitar masih tak cukup buat Bapak? Untuk apa lagi mengincar kekuasaan menjadi Bupati? Ngerti masalah rakyat aja ga, biasanya malah Bapak ga mau tahu tentang persoalan rakyat yang sering ditayangkan di Televisi.

“ Apa Bapak ga salah mencalonkan diri jadi Bupati?” tanyaku saat Bapak mengumpulkan kami semua, Ibu, aku dan Anisa yang masih duduk di bangku SMA.

“ Ya ga lah Rif. Banyak yang sudah melamar Bapak buat jadi calon. Jadi kenapa harus ditolak?” jawab Bapak sambil mengisap kreteknya.

“Tapi apa Bapak yakin bisa menang nantinya? Terus kalo udah terpilih, apa Bapak sanggup memikul amanah menjadi pemimpin daerah ini?” cecarku pada Bapak. Seketika itu pula Bapak melotot tajam padaku. Yah…sebenarnya beliau tahu bagaimana aku, dikampus, aku adalah seorang aktivis rohis sekaligus pergerakan mahasiswa yang selalu kritis terhadap persoalan masyarakat. Meskipun beliau bapakku sendiri, tapi kritis ini tidak boleh pilih kasih.

“Arif! Dikampusmu kamu boleh teriak sana-sini. Tapi sama bapak, jangan coba-coba. Bapak tahu apa yang harus bapak lakukan sekarang ini, ga usah kamu ajarin!” jawab Bapak dengan ketus dan membubarkan “rapat” keluarga itu. Ibuku hanya bisa menunduk dan melihatku seolah meminta agar aku tak perlu bersikap sekeras itu pada Bapak.

Dan kini aku merasa berada dalam situasi yang dilematis. Satu sisi, aku memang tidak setuju Bapak mencalonkan diri sebagai Bupati, apalagi belakangan aku tahu partai yang mencalonkan Bapak itu hanya tergiur dengan kekayaaan Bapak yang bisa mendukung kemenangan mereka nantinya. Tapi sisi lain, Bapak terkenal keras dengan segala keputusannya, kapan Bapak pernah mau mendengarkan pendapatku atau orang lain, sampai sekarang masih bisa kuhitung dengan jari. Ahh…orasi dan kemampuan dakwahku masih belum seberapa jika harus berhadapan dengan Bapak. Dikampus aku boleh dikatakan sebagai singa yang keras ketika mengaum dan seorang ustadz kampus yang sering diminta mengisi kajian umum. Tapi dirumah? Ahh…aku merasa malu dengan diriku sendiri. Karena itulah, aku hanya bisa melampiaskan emosi dan kelemahanku pada Allah di tiap sujud dan sepertiga malamku sembari berdoa agar Allah berkenan membuka hati Bapak yang keras itu. Bukankah Allah itu maha membolak-balikkan hati?

***

Masa kampanye sudah dimulai, seperti yang kuduga, kampanye Bapak memang paling wah diantara yang lainnya. Sejujurnya Bapak tidak tahu apa-apa tentang kampanye ini, semua orasi atau janji-janji politik serta atribut ini diurus oleh Pak Agus, ketua tim sukses yang kemarin datang kerumah dan mengantongi sejumlah uang dari Bapak. Tersiar kabar bahwa tim sukses Bapak juga secara sembunyi-sembunyi menyebarkan sejumlah uang pada masyarakat. Aku ingin berontak, tapi sekali lagi, posisiku masih dilematis dan belum ada celah yang bisa kumasuki untuk menyadarkan Bapak.

“ Kampanye kita sukses nih pak, berdasarkan tim survey kita, bapak punya peluang besar untuk memenangkan pemilihan Bupati ini” kata Pak Agus masih dengan tawa licik selayaknya seorang penjilat pada Bapak.

“ Bagus…bagus…yang jelas, saya tidak mau sudah keluar uang banyak tapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan” tukas Bapak lagi.

“ Tentu saja pak Ridwan. Kunci untuk mendapatkan simpati rakyat disini Cuma dengan ini” kata seorang anggota tim sukses sambil memberi simbol jari jempol yang mengusap jari telunjuknya alias uang. Dan tawa mereka pun pecah seketika.

“Cara kalian ini sangat licik! Berdalih mensejahterakan rakyat tapi sebenarnya haus akan kekuasaan. Kalian beli nurani rakyat dengan memanfaatkan kondisi mereka yang sedang susah!” Pemimpin macam apa kalian ini??” Tiba-tiba aku menyeruak masuk dan berteriak dihadapan Bapak dan tim suksesnya. Aku sudah tak tahan lagi mendengarkan ocehan busuk mereka.

Bapak kemudian melihat kearahku dengan mata melotot tajam dan wajah merah. Segera beliau kearahku dan menarik tanganku menjauh dari ruangan itu.

“ Bapak tidak suka cara kamu tadi Arif. Apa Bapak tidak pernah mengajarkan kesopanan sama kamu? Mana yang kau bilang tentang akhlak kepada tamu heh?” tanya Bapak masih dengan nada keras.

“Pak, Arif sayang sama Bapak. Arif tidak mau Bapak terjerumus dalam sesuatu yang salah seperti ini. Menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah Pak, apalagi Bapak selama ini tidak tahu menahu tentang persoalan rakyat yang sebenarnya. Mereka yang mendukung Bapak itu semuanya penjilat Pak! Mereka mencalonkan Bapak bukan karena kompetensi atau kelayakan Bapak jadi Bupati. Tapi Cuma karena Bapak itu kaya raya dan disegani semua orang! Ketika nanti Bapak terpilih, mereka akan menagih timbal balik dari Bapak untuk keuntungan mereka!” jelasku panjang lebar pada Bapak.

“Sok tahu kamu. Otak kamu itu yang harus dicuci biar sadar. Harusnya kamu juga bantu Bapak biar menang. Ini malah menentang Bapak, mulai sekarang Bapak tidak mau kamu ikut campur lagi! Urusi saja kuliah dan kegiatan kamu yang lain. Anak bau kencur!” jawab Bapak lebih keras sambil meninggalkan aku duduk sendirian di ruang tamu.

“ Nak, tolong…kali ini jangan lawan Bapak kamu. Ibu tidak mau mendengar kalian bertengkar lagi. Ibu mohon nak, toh seperti yang kamu bilang, sesuatu tidak akan terjadi kalo bukan atas kehendakNya kan? Jadi biarlah Allah yang nanti memutuskan” ucap Ibu dengan wajah memelasnya padaku. Dari tadi ternyata beliau berada di balik dinding setelah mendengar suara keributan dari ruang pribadi Bapak.

***

Hari pemilihan pun tiba. Aku memutuskan tidak ikut memilih meski telah ada calon yang layak untuk dipilih. Setelah pertengkaranku tempo hari dengan Bapak, dan atas permintaan Ibu pula, aku tak lagi banyak bicara tentang pencalonan Bapak. Hubunganku dengan Bapak pun terasa kaku, ketika berkumpul di meja makan, kami banyak diam. Tapi dalam setiap sholatku, aku selalu berdoa semoga Bapak akan mendapatkan hidayah.

Bapak memenangkan pemilihan. Ya…aku tidak heran dengan hal itu. Bapak menang dengan cara licik yang dilakukan tim suksesnya. Dan begitu tahu bahwa kemenangan itu telah diraihnya, Bapak segera menggelar syukuran dengan mengundang tim suksesnya serta tetangga sekitar. Semua kolega Bapak datang memberi selamat dan tak lupa memberikan hadiah kepada beliau, entah itu peci atau baju sasirangan dan batik. Aku terduduk lesu diantara gemuruh suara para tamu. Hingga kulihat ada seorang kakek tua yang datang dengan baju lusuh. Awalnya kedatangan kakek itu ditolak oleh beberapa preman pribadi Bapak, tapi berhubung ini pesta bagi seorang Bupati, diapun diperbolehkan masuk.

“ Pak Ridwan, saya ucapkan selamat atas kemenangan Bapak hari ini. Tapi ingatlah bahwa setiap yang Bapak punya hanyalah titipan yang pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti. Menjadi pemimpin, artinya harus bisa mengayomi semua hak rakyat, dan diakhirat nanti, seorang pemimpin akan lebih lama di hisab amalnya dari yang lain. Sebagai hadiah, ini saya berikan sesuatu yang istimewa untuk Bapak. Mohon diterima” kata Kakek itu panjang lebar.

Dengan sangat terpaksa, Bapak menerima hadiah dari sang Kakek itu, sebuah bungkusan lusuh.

“Buka saja. Isinya sangat istimewa dari yang lain” ucap Kakek itu sembari membalikkan badan tanpa menunggu balasan ucapan dari Bapak.

Dengan sikap meremehkan, Bapak lalu membuka bungkusan itu dan seketika wajahnya pucat pasi. Tak lama, Bapak memegang dadanya dan terjatuh diantara kerumunan tamu. Aku bergegas menghampiri Bapak dan mencoba memanggil namanya. Tapi nihil, Bapak terdiam dan aku pun memeriksa denyut nadinya, ohh…tidak..denyut nadi Bapak sudah tidak ada. Bapak meninggal!!

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Bapak sudah meninggal” kataku lirih. Tangis Ibu pun pecah seketika.

Kulirik lagi bungkusan dari Kakek tadi, dan ternyata isinya adalah……..selembar kain kafan putih bersih! Seperti baru dibeli di toko kain! Dan anehnya, diujung kain kafan ini telah bertuliskan nama Bapak “Ridwan Hasan”! Aku lalu berdiri dan setengah berlari mencoba mengejar kakek itu, kuyakin dengan tubuhnya yang ringkih itu pati jalannya belum jauh. Tapi gagal, aku tak menemukan bayangnya. Kucoba bertanya pada orang di jalan mereka tidak melihat orang tua dengan cirri-ciri yang kuceritakan. Hingga akhirnya diluar logika pun timbul pertanyaan aneh



“Apakah kakek itu adalah malaikat Izrail?”

Comments
0 Comments